Sejarah Perguruan Wahidin

Oleh : SUDARNO MAHYUDIN

 

Latar Belakang

Berdirinya Perguruan Wahidin Bagansiapi-api tidak terlepas dari sejarah kedatangan warga Tionghoa ke kota Bagansiapi-api. Dari catatan manuskrip mengenai kedatangan orang-orang Tinghoa ke Bagansiapi-api dipercaya bahwa mereka pertama kali menapakkan kakinya di kota yang sekarang dikenal dengan nama Bagansiapi-api, diperkirakan pada tahun 1872 mereka berasal dari komunitas Tionghoa di Thailand Selatan, suatu tempat yang disebut Songkla yang berdasarkan catatan manuskrip mereka berasal dari daratan Tiongkok, suatu tempat yang disebut propinsi Fujian, bahkan ada pendapat mereka berasal dari Xiamen di Negeri Tiongkok.

Singkat cerita orang-orang Tionghoa tersebut meninggalkan Songkla merantau menyeberangi lautan dengan tiga buah Junk. Dalam perjalanan salah satu Junk yang dalam kebimbangan dan kehilangan arah, mereka berdoa kepada patung Dewa Kie Ong Yan (Dewa Penguasa Laut) dan patung Dewa Tai Sun (Dewa Pengembara) yang mereka bawa dan tempatkan di kapal junk tersebut; Dari tiga junk tersebut hanya satu junk yang selamat dari amukan badai lautan berkat doa mereka kepada Dwa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun, mereka percaya dan meyakini bahwa keselamatan mereka berkat perlindungan para dewa tersebut. Perlu dicatat bahwa junk yang selamat membawa delapan belas penumpang, adapun nama delapan belas penumpang yang selamat tersebut yaitu :

1. Ang Nie Kie
2. Ang Nie Hiok
3. Ang Se Guan
4. Ang Se Pun
5. Ang Se Teng
6. Ang Se Shia
7. Ang Se Puan
8. Ang Se Tiau
9. Ang Se Po
10. Ang Se Nie Tjai
11. Ang Se Nie Tjua
12. Ang Un Guan
13. Ang Cia Tjua
14. Ang Bung Ping
15. Ang Un Siong
16. Ang Sie In
17. Ang Se Jian
18. Ang Tjie Tui

Junk yang selamat membawa delapan belas orang tersebut kebetulan bermarga Ang yang setelah beberapa bulan mengarungi lautan luas Samudera Hindia, dengan menghadapi gelombang badai dan berhasil selamat tiba dan mendarat pertama kali di Pulau Pinang, suatu tempat yang disebut Bukit Mertajam.

Setelah tinggal beberapa hari ternyata mereka merasa tidak cocok dan terus melanjutkan perjalanan lagi ke arah selatan di suatu pulau yang dikenal dengan sebutan Lipa Ham (Li Ba Chen) yang kemudian dikenal dengan nama Panipahan artinya kerang lepas pantai, sebuah pulau yang telah berpenghuni, konon penghuni pulau tersebut orang-orang suku Gao Qi dan suku Ki Yong yang asal usul tidak dijelaskan beretnis suku dari Tionghoa atau Bumi Putera atau suku lainnya. Kekayaan alam yang utama dari pulau tersebut berupa kerang yang berlimpah.

Mereka tinggal dilipahan beberapa lama ternyata merasa tidak cocok hidup bersama suku Gao Qi dan suku Ki Yong, akhirnya mereka memutuskan melanjutkan perjalanan ke arah Timur pada sebuah kerajaan Melayu dikenal dengan nama Gui Wu, lazin disebut Kubu. Kerajaan itu dihuni orang-orang yang mereka sebut orang Wu atau Melayu. Dari pengembaraan ini mereka menemukan pulau Gui Wu dihuni suku Melayu yang mata pencaharian mereka bertani dan nelayan, terutama menangkap udang di muara sungai. Selama menghuni dan bergaul dengan orang-orang Melayu serta melakukan kegiatan mata pencaharian nelayan dan perdagangan dengan orang melayu dengan cara barter hasil tangkapan udang ditukar dengan garam yang dibawa orang Tionghoa tersebut.

Setelah warga Tionghoa tersebut menghuni beberapa lama ternyata masih belum cocok dengan lingkungan alam pulau tersebut sampai pada suatu malam mereka menyaksikan cahaya berkelip-kelip di seberang pulau Kubu itu. Timbul dari dorongan hati beberapa orang dari mereka untuk meninjau ke seberang dengan sebuah sampan. Keesokan hari beberapa orang menggunakan sampan menyeberangi dan tiba pada tempat cahaya berkelip-kelip ternyata sebuah pulau yang telah berpenghuni orang-orang Melayu. Orang-orang Melayu itu membangun tempat menangkap ikan yang mereka sebut Bagan. Bangunan dalam bentuk bertiang dan berlantai terbuat dari bahan kayu tetapi tidak berdinding dan beratap berdiri di lepas pantai. Orang-orang Melayu berasal dari pedalaman Sungai Rokan, sungai besar yang mengalir di pulau itu. Ternyata di pedalaman Sungai Rokan itu telah berdiri kerajaan Bangko, Ibu Negeri Bentayan, sekarang dikenal dengan Kecamatan Batu Ampar sebagai Ibukota Bentayan.

Ciri khas pulau kerajaan Bangko tersebut adanya binatang bercahaya berkelip-kelip sesuai dengan yang disaksikan orang-orang Tionghoa berupa cahaya berkelip-kelip pada malam tersebut ternyata berasal dari tubuh binatang yang disebut kunang-kunang. Orang-orang Melayu menyebutnya api-api, sehingga gabungan dari kata Bagan dan Api-api menjadi sebuah nama Bagansiapi-api yang kemudian melalui proses sejarah yang panjang dikenal dan berubah menjadi Bagansiapi-api. Akhirnya warga Tionghoa tersebut menghuni dan membuka pemukiman orang-orang Tionghoa di Bagansiapi-api yang menurut catatan manuskrip diperkirakan terjadi pada tahun 1872.

ASAL MULA BERDIRINYA SEKOLAH BAGANSIAPI-API

Warga Tionghoa yang menghuni di Bagansiapi-api ini perlahan-lahan terus bertambah populasinya, yang semula keturunan 18 orang Tionghoa yang secara kebetulan marga Ang dan kemudian pendatang baru ikut meramaikan Bagansiapi-api menjadi sebuah pemukiman baru di tepi sungai Rokan dengan mata pencaharian sebagai nelayan pada umumnya dan mereka hidup mengelompok di tepi Sungai Rokan, sebagian rumahnya berada di daratan dan sebagian rumahnya berada di atas air dengan penopang dari kayu. Terjadi akulturasi dan adaptasi budaya bahari sebagai nelayan dan budaya pemukiman dengan gaya rumah Melayu.

Dalam sejarah kerajaan Riau, ternyata pulau Kubu, Bangko dan Tanah Putih pada masa raja kecil berada di bawah kekuasaan kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada tahun 1889 Sultan Siak Ke 11, Sultan Syarif Hasyim yang dalam lafal mandarin disebut Shuo Ding, berkunjung ke Bagansiapi-api atas undangan yang dipertuan Raja Bangko yang dalam manuskrip disebut Raja Bungkuk atau Raja Bongkok.

Dalam kunjungan Sultan menyertai seorang punggawa bernama Datuk Sontil, orang Melayu yang fasih berbahasa Tionghoa, yang kemudian ditunjuk sebagai administrator atau kapitan warga Tionghoa di Bagansiapi-api. Orang Tionghoa menyapanya, Sun Cha dengan sapaan lengkap Kapitan Sun Cha (Datuk Sontil) menjadi Kapitan Pertama warga Tionghoa di komunitas Tionghoa Bagansiapi-api.

Setelah Datuk Sontil kembali ke kerajaan Siak Sri Indrapura maka warga Tionghoa melakukan pemilihan kapitan baru dan terpilih seorang pengusaha bermarga Ong yang kemudian meninggal dunia, kembali warga Tionghoa melakukan pemilihan dengan terpilih seorang Cendekiawan berasal dari Tiongkok bernama lengkap Weng Jung Yu.

ASAL MULA BERDIRINYA SEKOLAH DI BAGANSIAPI-API

Kapitan Weng yang menjadi inovator pertama mendirikan sekolah, rumah sakit, pemakaman (perkuburan) dan sarana-sarana sosial lainnya dengan standar yang memadai di Bagansiapi-api. Kapitan Weng adalah orang pertama yang mengajar masyarakat Tionghoa Bagansiapi-api di bidang pendidikan. Ia juga memperkenalkan budaya sembahyang Ceng Beng, menyusun adat upacara perkawinan, tata cara penguburan orang yang meninggal dunia dan budaya lainnya bagi penduduk yang harus dilaksanakan dan dipatuhi.

Kapitan Weng mendirikan sekolah pertama kali di kawasan yang sekarang disebut Sungai Garam dengan mendatangkan 3 guru dari Tiongkok yang bernama Huang Zhao Han, Wang Yu Cheng dan Hong Yu Sheng. Sekolah tersebut kemudian terbakar ludes. Dari lokasi lama tersebut Kapitan Weng akhirnya mendirikan dan membuka kembali sekolah di lokasi baru yaitu lokasi yang kita kenal sekarang ini berdirinya Perguruan Wahidin. Sekolah baru ini diberi nama Jing Chun atau King Chun. Sekolah baru ini mendapat respon positif dari masyarakat waktu itu. Sejalan dengan tumbuhnya semangat nasionalisme Tiongkok menular di Bumi Nusantara muncul nasionalisme yang sama dengan hadirnya sekolah Budi Utomo tahun 1908, Muhammadiyah tahun 1911, Taman Siswa tahun 1922 dan sebagainya.

Sekolah yang didirikan Kapitan Weng beberapa tahun kemudian bermunculan sekolah lainnya dengan nama sekolah baru itu disebut Bin tek, lokasinya tidak jauh dari sekolah Jing Chun. Masing-masing sekolah tersebut membelah masyarakat Tionghoa Bagansiapi-api menjadi dua aliran pendidikan, setelah Kapitan Weng meninggal dunia digantikan oleh Kapitan berikutnya yang dipilih rakyat bernama Inyo Beng San. Dialah Kapitan moderat yang berusaha menyatukan kedua sekolah di bawah satu atap. Dengan jerih payah Inyo Beng San akhirnya berhasil menyatukan sekolah King Chun dan Bin Tek dilebur menjadi satu pegelolaannya diserahkan kepada Perkumpulan Chung Hua Chong Hue. Pada waktu itu telah berdiri Perkumpulan Warga Tionghoa di Bagansiapi-api yang dinamakan Perkumpulan Chung Hua Chong Hue yang lafal bahasa mandarin Zhong Hua Gong Xue.

Sekolah Chung Hua Chong Hue akhirnya diberi nama tunggal menjadi Chung Hua Public School yang kemudian berkembang dengan luar biasa pesat, dengan murid kira-kira 1.000 orang, dengan perkembangan tersebut otomatis gedung sekolah pun bertambah dengan dukungan para pengusaha perikanan Bagansiapi-api.

Pada awal bulan Maret 1942, balatentara Jepang mendarat dan menguasai Pulau Jawa, dan termasuk kota Bagansiapi-api juga dikuasai tentara Jepang. Pemerintah Hindia Belanda menyerah. Dan kegiatan Chung Hua Public School terhenti sementara.

TERCIPTANYA NAMA SEKOLAH PERGURUAN WAHIDIN

Tanggal 6 Agustus 1945 bom atom pertama Amerika menghancurkan Hiroshima. Tanggal 9 Agustus 1945 bom atom kedua Amerika meluluhlantakan kota Nagasaki. Lalu tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah dan bertekuk lutut kepada sekutu. Seiring dengan kekalahan perang Jepang dengan sekutu, pada tanggal 16 Agustus 1945 Jepang pun meninggalkan kota Bagansiapi-api mereka naik kapal menuju Singapura, untuk selanjutnya dipulangkan ke Negeri Jepang.

Tanggal 25 Agustus 1945 untuk pertama kalinya sang merah putih dikibarkan di angkasa kota Bagansiapi-api. Pengibaran dilaksanakan di halaman kantor pos Bagansiapi-api oleh dua orang pegawai pos bernama M. Daud dan M. Nasir. Seluruh kota Bagansiapi-api dan kantor Pemerintah menaikkan bendera Indonesia.

Sekolah Chung Hua Public School pada awal bulan Maret tahun 1942 sempat tutup kurang lebih 8 bulan, setelah Jepang bertekuk lutut pada sekutu dengan sendirinya membuat keinginan belajar dan calon pelajar untuk masuk sekolah atau belajar kembali maka Chung Hua Public School dibuka kembali bersama-sama dengan sekolah Nasional seperti Muhammadiyah dan sekolah swasta lainnya.

Pada masa itu situasi seluruh Republik Indonesia diwarnai dengan situasi revolusi, warga masyarakat Bagansiapi-api pada masa itu terjepit antara berbagai kepentingan, baik kepentingan Nasional maupun Internasional, karena banyak di antara warga Tionghoa masih bingung dengan situasi revolusi, pada saat itu hampir dapat dikatakan tidak ada perlindungan dan kepastian hukum, dalam situasi revolusi Chung Hua Public School yang terpaksa menghentikan kegiatan belajar selama pendudukan Jepang, karena situasi revolusi yang masih mengeliat, mau tidak mau Chung Hua Public School belum ada pilihan menjadi sekolah Nasional melainkan tetap dalam status Sekolah Asing.

Sejalan dengan perkembangan sosial politik di Indonesia, di tahun 1950-an pertarungan antara kekuatan politik kaum sipil dengan kekuatan politik kaum militer semakin hari semakin sengit. Pada tahun 1957 boleh dikatakan Pemerintahan Sipil sudah dapat dikendalikan oleh kekuatan militer. Itu semua mempengaruhi pekembangan selanjutnya di bidang sosial budaya dan sosial ekonomi.

Pertengahan tahun 1957 penguasa militer menetapkan semua pelajar yang berwarga Negara Indonesia dan yang tidak bisa membuktikan dirinya WNI adalah warga Negara Asing yaitu pelajar yang berdwi warga Negara dilarang bersekolah di sekolah asing manapun di Indonesia, termasuk sekolah Asing Tionghoa.

Situasi sosial politik Nasional tersebut bergulir sampai di kota Bagansiapi-api. Pada tahun 1957 pejabat wedana Bagansiapi-api BA Rahim berinisiatif menemui pengelola atau pengurus sekolah Chung Hua Public School dengan memberi saran positif agar status Chung Hua Public School diubah status dari sekolah Asing menjadi sekolah berstatus Nasional ; Atas saran tersebut disambut dengan positif oleh pengurus Chung Hua Public School telah memilih secara resmi pada tanggal 9 September 1957 mengubah status Chung Hua Public School dari berstatus Asing menjadi berstatus Sekolah Nasional Asal Asing (SNAA). Bersamaan dengan itu nama Chung Hua Public School (SNAA) berubah nama menjadi Wahidin dan selanjutnya disebut Sekolah Nasional Wahidin.

Setelah menjadi Sekolah Nasional Wahidin keberadaannya berkembang dengan pesat, dalam waktu beberapa tahun setelah itu jumlah murid terus bertambah lebih dari 1.000 orang sampai pengelola sekolah Wahidin membangun delapan lokal baru untuk menampung minat besar masyarakat menyekolahkan anaknya di Sekolah Nasional Wahidin.

BERDIRINYA YAYASAN PERGURUAN WAHIDIN

Pesatnya perkembangan pendidikan melalui Sekolah Nasional Wahidin juga dibarengi ikut serta format baru pengelolaan pendidikan dengan bergerak mangikuti sistem kurikulum nasional.

Sejalan dengan perkembangan Sekolah Nasional Wahidin ikut mempengaruhi beberapa tokoh masyarakat Tionghoa Bagansiapi-api berinisiatif membentuk suatu badan hukum guna menggantikan Perkumpulan Chung Hua Chong Hue yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ide tersebut terwujud pada tanggal 18 Pebruari 1963 beberapa tokoh masyarakat Tionghoa Bagansiapi-api mengutus Ng Bin Kuan ke Medan untuk mendirikan Yayasan dihadapan Notaris Panusunan Batu Bara di Medan, dan pada tanggal 19 Pebruari 1963 telah berdiri Yayasan dengan nama Yayasan Perguruan Wahidin berdasarkan Akta Pendirian nomor 52 tertanggal 19 Pebruari 1963 yang dibuat dihadapan Panusunan Batu Bara Notaris di Medan, dengan susunan pengurus pertama kalinya adalah :

Ketua : Tuan Tie Tjeng Tjoan ;
Wakil Ketua : Tuan Goei Nan Sie ;
Setia Usaha I : Tuan Ng Bin Kuan ;
Setia Usaha II : Tuan Ke Ing Sing ;
Bendahara I : Tuan Kho Ka Soe ;
Bendahara II : Tuan Ang Tian kang ;
Para Pembantu : – Tuan Ang Boen Tjioe ;
– Tuan Tjua Tiam Hok ;
– Tuan Tji Ka Bo ;
– Tuan Ang Tian Siong ;
– Tuan Ong Kok Seng.

Mereka menjadi pendiri Yayasan Perguruan Wahidin Bagansiapi-api dengan tujuan untuk memajukan pendidikan dan pengajaran baik rohaniah maupun jasmaniah di sekolah Nasional Wahidin. Akta pendirian Yayasan pada waktu itu juga menegaskan mempunyai kekayaan awal yang berasal dari kekayaan para pendiri yang dipisahkan sebesar Rp. 11.000 (kurs pada waktu itu) sebagai uang pangkal kekayaan Yayasan yang mereka dirikan.

SIMALAKAMA YAYASAN DAN UPAYA PENYELAMATANNYA SERTA PERUBAHAN PERTAMA ANGGARAN DASAR YAYASAN

Situasi politik Nasional dengan terjadi peristiwa 30 September 1965 yang dikenal dengan peristiwa G 30-S PKI dan hancurnya kekuasaan Presiden Soekarno beserta pembubaran PKI dan organisasi-organisasi yang langsung dan yang tidak langsung menjadi Underbow atau beraviliasi dengan PKI dibubarkan. Dengan jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno pada tahun 1966 diikuti dengan munculnya kekuatan baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Salah satu organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik dalam mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan, terkena getah ulah PKI yaitu BAPERKI (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) didirikan oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa di Jawa pada tahun 1954. BAPERKI yang menyumbangkan prinsip paham integrasi dengan menganjurkan golongan Tionghoa untuk mengintegrasikan dirinya dalam semua tingkat kegiatan Indonesia sehingga mempunyai daya tarik bagi orang-orang Tionghoa, akhirnya menjadi organisasi yang berkembang luas sampai ke kota Bagansiapi-api. BAPERKI pun dilarang dan dibubarkan oleh kekuasaan orde baru.

Perkembangan politik nasional telah mempengaruhi pengurus BAPERKI di Bagansiapi-api. Ada indikasi beberapa orang pengurus Yayasan Perguruan Wahidin menjadi pengurus BAPERKI yang setelah dibubarkan dan dilarang, baru diketahui beberapa pengurus terlibat dan kemudian menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan Yayasan Perguruan Wahidin. Dalam situasi pelik waktu itu timbul dan beredar desas-desus di kalangan masyarakat Tionghoa Bagansiapi-api bahwa pemerintah akan mengambil alih Yayasan Perguruan Wahidin, yang disebabkan adanya beberapa anggota pengurus menjadi anggota organisasi terlarang. Akibatnya sangat mencemaskan para pengurus Yayasan Perguruan Wahidin sehingga salah seorang pengurus Yayasan yaitu Ang Boen Tjioe dikenal pula dengan nama Asmansyur dengan didampingi beberapa tokoh masyarakat Tionghoa berinisiatif mengambil langkah penyelamatan. Sikap tegas Ang Boen Tjioe Cs menghadap kepada pemerintah dengan memberi penegasan bahwa keberadaan beberapa orang anggota BAPERKI dalam pengurusan hanyalah oknum dan tidak ada sangkut paut antara Yayasan Perguruan Wahidin dengan organisasi BAPERKI baik secara politis dan organisasi.

Dan Ang Boen Tjioe Cs menjelaskan bahwa berdasarkan sejarah berdirinya Yayasan Perguruan Wahidin sejak tanggal 09 September 1957 telah mengikuti jalan sesuai program Pemerintah Indonesia dengan mengelola Sekolah Perguruan Wahidin berdasarkan asas-asas pancasila dan menerapkan format pendidikan sesuai dengan kurikulum dari pemerintah. Atas dasar tersebut dengan tegas Ang Boen Tjioe Cs melaporkan anggota pengurus yang menjadi anggota BAPERKI telah mengundurkan diri dan telah dilakukan perubahan Akta Pendirian Yayasan dengan memberhentikan pengurus yang menjadi anggota BAPERKI dan kemudian mengangkat pengurus baru. Dengan sikap tegas dan penjelasan Ang Boen Tjioe Cs yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pemerintah telah mendapat respon positif pemerintah dengan menerima baik dan memberi kesempatan kepada Ang Boen Tjioe Cs melakukan perubahan Akta Pendirian Yayasan sehingga Yayasan bersih dan tidak ada lagi organ pengurus yang terlibat BAPERKI. Perjuangan Ang Boen Tjioe Cs telah menyelamatkan ribuan siswa siswi seluruh Perguruan Wahidin dan Yayasan Perguruan Wahidin.

PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN KEPENGURUSAN YAYASAN PERGURUAN WAHIDIN DARI WAKTU KE WAKTU

Perjalanan Sekolah Perguruan Wahidin terus maju dan Yayasan Perguruan Wahidin pun mengikuti kemajuan yang tentunya memerlukan penyegaran kepengurusan Yayasan dari priode ke priode sebagaimana diuraikan di bawah ini :

I. Setelah enam belas tahun kemudian pengurus Yayasan Perguruan Wahidin mulai melakukan penyegaran kembali kepengurusan Yayasan dengan melakukan perubahan susunan pengurus pada tanggal 26 Agustus 1981 yang dilaksanakan perubahan susunan pengurus Yayasan berdasarkan Akta Perubahan nomor 117 tertanggal 26 Agustus 1981 yang dibuat dihadapan Haji Rachmadi, Notaris Pengganti dari Kusmulyanto Ongko, Notaris berkedudukan di Medan dengan susunan sebagai berikut ;

Ketua : Asmansyur (d/h Ang Boen Tjioe) ;
Wakil Ketua : Setiaji (d/h Tie Tek Liong) ;
Sekretaris : Niu Sing Lie ;
Bendahara : Agus Yacob (d/h Ang Tiang Kok) ;
Urusan Luar : Astaman Jaya (d/h Ang Tian Se)
Komisaris : Sudarno Mahyudin.

II. Baru dua tahun berjalan setelah perubahan susunan pengurus tersebut, telah terjadi peristiwa pada tahun 1983 Ketua Yayasan Perguruan Wahidin yaitu Asmansyur (d/h Ang Boen Tjioe) meninggal dunia. Kemudian beberapa pengurus teras juga telah berpindah domisili ke Jawa dan Medan. Mereka yang pindah keluar kota antara lain Niu Sing Lie, Agus Yacob (d/h Ang Tiang Kok) dan Astaman Jaya (d/h Ang Tian Se). Waktu terus berjalan tidak terasa banyak pengurus Yayasan telah berpindah sehingga struktur organisasi menjadi tidak efektif dan secara fungsional Yayasan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Kondisi Yayasan Perguruan Wahidin selama tujuh belas tahun lamanya berjalan tersendat dan tidak efektif mendorong beberapa pengurus Yayasan yang masih ada untuk melakukan perubahan organisatoris Yayasan, akhirnya pada tanggal 30 September 2000 pengurus Yayasan yang masih ada mengutus Sudarno Mahyudin untuk melaksanakan perubahan anggaran dasar Yayasan dengan melakukan perubahan susunan pengurus dihadapan Notaris Unang Tjemerlang, SH berkedudukan di Bagansiapi-api berdasarkan Akta Perubahan nomor 8 tanggal 30 September 2000 yang susunan pengurus Yayasan menjadi sebagai berikut ;

Ketua : Hendra Husin (d/h Goh Hui Seng) ;
Wakil Ketua : Setiadji (d/h Tie Tek Liong) ;
Sekretaris : Ericsson Jan (d/h Ang Tik Jan) ;
Wakil Sekretaris : Endang Wijaya (d/h Ng Ek Tjin) ;
Bendahara : Asam Alavi Un (d/h Goh San) ;
Tata Usaha : Tan Guan Tio ;
Urusan Luar : Agus Yacob (d/h Ang Tian Kok) ;
Komisaris I (Pendidikan) : Sudarno Mahyudin ;
Komisaris II (Perlengkapan) : Winaryo.

Berjalannya waktu ternyata tidak terasa dua tahun berlalu keberadaan Yayasan menurut hukum Indonesia mulai mendapat perhatian pemerintah dengan telah terbentuk dan berlakunya Undang-undang Yayasan baru yaitu Undang-undang nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan, sedangkan di dalam internal organisasi Yayasan Perguruan Wahidin pun telah terjadi beberapa pengurus meninggal dunia pada tahun 2002 yaitu wakil ketua Yayasan Setiadji (d/h Tie Tek Liong) dan setahun kemudian disusul ketua Yayasan Hendra Husin (d/h Goh Hui Seng) juga meninggal dunia. Dengan meninggalnya ketua dan wakil ketua praktis Sekolah Perguruan Wahidin dikelola oleh koordinator perguruan : Sudarno Mahyudin dan dibantu kepala tata usaha : Anton Guitama.

III. Kondisi Yayasan Perguruan Wahidin tanpa ketua dan wakil ketua telah mendorong inisiatif Yayasan Multi Marga Bagansiapi-api bekerjasama dengan koordinator Perguruan Wahidin yaitu Sudarno Mahyudin untuk membentuk kepengurusan yang baru. Dan pada tanggal 16 April 2004 diadakan pertemuan dan sekaligus rapat pembentukan kepengurusan Yayasan berikutnya. Dalam rapat dihadiri kurang lebih 50 orang telah berhasil merumuskan dan membentuk kepengurusan Yayasan berikutnya. Sejalan dengan itu lahir Undang-undang Yayasan nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan kemudian Undang-undang tersebut diubah dengan Undang-undang nomor 28 tahun 2004 maka sesuai dengan ketentuan undang-undang Yayasan diwajibkan Yayasan lama harus menyesuaikan anggaran dasar Yayasan dengan Undang-undang nomor 28 tahun 2004 jo Undang-undang nomor 16 tahun 2001 dengan struktur 3 (tiga) organ Yayasan sebagai berikut : Pembina, Pengurus dan Pengawas.

Hasil rapat pada tanggal 16 April 2004 telah dikukuhkan dengan akta nomor 21 tanggal 17 April 2004 yang dibuat dihadapan Unang Tjemerlang, SH Notaris di Bagansiapi-api dan telah menyesuaikan anggaran dasar Yayasan dengan undang-undang Yayasan dan sekaligus dilakukan perubahan susunan pengurus sesuai dengan struktur organ Yayasan menurut undang-undang Yayasan ; Hasil rapat telah mengukuhkan susunan organ Yayasan sebagai berikut :

a. Pembina :
– Ketua : Andang Taruna (d/h Ang U Shio) ;

– Anggota :
1. Budy Tamrin ;
2. Dokter Sherman Wirly ;
3. Ka Siong ;
4. Tan Bie Kuan ;
5. Ti Ti (d/h Tan Cing Bing) ;
6. Ke Tong Po (Poniman Asnim) ;
7. Ang Tiong Ing ;
8. Amrin (d/h Ang Tek Sing) ;
9. Tie Kim Tang ;
10. Gui Yau Khun ;
11. Ong Tian Co ;
12. C.H. Widarto ;
13. Johan Angkasa.
14. Ang Kim Tek ;
15. Inyo Ching Siong ;
16. Ang Tiong Huat ;

b. Pengurus :
1. Ketua : Kasim (d/h Ong Ching Liong).
2. Wakil Ketua I : Rajadi (d/h Ting Han Wie) ;
3. Sekretaris : Ericsson Jan (d/h Ang Tik Jan) ;
4. Wakil Sekretaris : Yanliyanto ;
5. Bendahara : Asan Alavi Un ;
6. Wakil Bendahara I : Kasman Tarno ;
7. Wakil Bendahara II : Lenijati (d/h Tan Lei Ni) ;
8. Tata Usaha I : Guan Tio ;
9. Tata Usaha II : Agus Karim (d/h Tan Cu Lin) ;
10. Bidang Pendidikan : Sudarno Mahyudin ;
11. Bidang Pendidikan : Clara Emiliazzie ;

c. Pengawas :
1. Ketua : Agus Yacob (d/h Ang Tiam Kok) ;
2. Anggota : Pardi (d/h Kho Ling Piaw).

Dengan disesuaikan anggaran dasar Yayasan Perguruan Wahidin secara hukum yayasan mendapat pengakuan sebagai badan hukum berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2004 Jo undang-undang nomor 16 tahun 2001 ; dengan diundangkan undang-undang yayasan ini diharapkan dapat mendudukan kembali yayasan pada tempatnya semula serta memberikan porsi yang benar bagi kepengurusan dan pengelolaan yayasan.

PENUTUP

Yayasan Perguruan Wahidin Bagansiapi-api dan Sekolah Perguruan Wahidin memiliki catatan sejarah yang panjang telah menjalankan kegiatan sesuai maksud dan tujuan bersifat sosial di bidang pendidikan dan anggaran dasar yayasan pun telah mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas. Pemisahan yang tegas ketiga organ yayasan antara fungsi, wewenang dan tugas masing-masing organ tersebut serta pengaturan mengenai hubungan antara ketiga organ yayasan dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan konflik internal yayasan yang tidak hanya merugikan kepentingan yayasan melainkan juga pengelolaan sekolah Perguruan Wahidin dan pihak lain serta citra yayasan di masyarakat luas.

Sebagai bagian dari proses mendudukan kembali yayasan dalam proporsi yang semestinya, undang-undang yayasan secara tegas melarang Pembina, pengurus dan pengawas yayasan untuk memperoleh pembagian hasil kegiatan yayasan. Tidak hanya sampai di situ, bahkan kekayaan yayasan dalam bentuk apapun, baik berupa uang, barang maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2004 Jo undang-undang nomor 16 tahun 2001 dilarang, dialihkan dan dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus atau Pengawas, Karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan ; setiap anggota organ yayasan yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Selain pidana penjara, anggota organ yayasan yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.

Sebagai badan hukum yayasan diberikan hak dan kewenangan untuk menyelenggarakan sendiri kegiatannya, dengan harta kekayaan yang dimiliki sendiri, yang terlepas dan terpisah dari harta kekayaan pendiriannya. Semua tindakan yayasan, untuk dan atas nama yayasan dilaksanakan oleh Pengurus yayasan. Pengurus yayasan kunci bagi berjalannya yayasan. Yayasan tidak mungkin dapat menjalankan kegiatannya tanpa adanya pengurus, demikian juga keberadaan pengurus bergantung sepenuhnya pada fungsi Pembina dan Pengawas serta eksistensi dari yayasan. Ini berarti Pengurus yayasan merupakan organ kepercayaan yayasan, sebagai pengemban Fiduciary duty bagi kepentingan yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Meskipun dikatakan eksistensi atau keberadaan yayasan dan sifat badan hukum dari yayasan tidak dapat ditolak, namun demikian perlu diperhatikan bahwa keberadaan Yayasan Perguruan Wahidin dan pengawasan akan kegiatan yayasan tidak pernah berada dalam satu badan, instansi, departemen atau lembaga yang berwenang. Dengan demikian Yayasan Perguruan Wahidin yang bergerak di bidang pendidikan berada di bawah pengawasan Departemen Pendidikan Nasional dengan segala persyaratannya.

Dengan kelahiran dan kehadiran undang-undang nomor 28 tahun 2004 Jo undang-undang nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan ini diharapkan dapat menciptakan tidak hanya keseragaman tetapi juga kepastian hukum mengenai eksistensi, sifat badan hukum, pengawasan dan pertanggungjawaban pengelola yayasan. Akhirnya diharapkan Yayasan dan Sekolah Perguruan Wahidin bisa berkontribusi lebih besar lagi terhadap upaya yang tengah dilakukan bangsa ini, terutama untuk bangkit lebih kokoh lagi dan segera keluar dari kemelut krisis multidemensi yang berkepanjangan. melalui berbagai program pendidikan dan sejarah panjang pengabdian masyarakat yang lebih bermanfaat lagi, di masa depan Yayasan dan Sekolah Perguruan Wahidin akan tetap berjaya dalam berbagai langkah dan programnya. Semoga Sukses Selalu.